1. TAKUT BERPISAH (SEPARATION ANXIETY)
Anak cemas harus berpisah dengan orang terdekatnya. Figur ibu, tak selalu harus berarti ibu kandung, melainkan pengasuh, kakek-nenek, ayah, atau siapa saja yang memang dekat dengan anak. Kelekatan anak dengan sosok ibu yang semula terasa amat kental, biasanya akan berkurang di tahun-tahun berikutnya. Bahkan di usia 2 tahunan, kala sudah bereksplorasi, anak akan melepaskan diri dari keterikatan dengan ibunya. Justru akan jadi masalah bila si ibu kelewat melindungi/overprotektif atau hobi mengatur segala hal, hingga tak bisa mempercayakan anaknya pada orang lain. Perlakuan semacam itu justru akan membuat kelekatan ibu-anak terus bertahan dan akhirnya menimbulkan kelekatan patologis sampai si anak besar. Akibatnya, anak tak mau sekolah, gampang nangis, dan sulit dibujuk saat ditinggal ibunya.Bahkan si ibu beranjak ke dapur atau ke kamar mandi pun, diikuti si anak terus. Repot, kan?
Cara Mengatasi:Jelaskan pada si kecil, mengapa ibu harus pergi/bekerja. Begitu juga penjelasan tentang waktu meski anak usia ini belum sepenuhnya mengerti alias belum tahu persis kapan pagi, siang, sore, dan malam serta pengertian mengenai berapa lama masing-masing tenggang waktu tersebut. Akan sangat memudahkan bila orang tua menggunakan bahasa yang mudah dimengerti. Semisal, “Nanti, waktu kamu makan sore, Ibu sudah pulang.” Jika tak bisa pulang sesuai waktu yang dijanjikan, beri tahu anak lewat telepon. Sebab, anak akan terus menunggu dan ini justru bisa menambah rasa takut anak. Ia akan terus cemas bertanya-tanya, kenapa sang ibu belum datang
2. TAKUT MASUK “SEKOLAH”
Bukan soal mudah melepas anak usia batita masuk playgroup. Sebab, ia harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Padahal, tak semua anak bisa gampang beradaptasi. Dari pihak orang tua, tidak sedikit pula yang justru tak rela melepas anaknya “sekolah” karena khawatir anaknya terjatuh kala bermain atau didorong temannya.
Cara Mengatasi:Orang tua tetap perlu mengantar anak ke “sekolah” karena ini menyangkut soal pembiasaan. Kalaupun di hari-hari berikutnya ada sekolah-sekolah yang bersikap tegas hanya membolehkan orang tua menunggu di luar, sampaikan informasi ini pada anak. Guru pun harus bisa menarik perhatian anak agar tidak terfokus pada ketiadaan pendampingan orang tuanya dengan bermain. Di saat asyik bermain dengan teman-temannya niscaya ia akan lupa.
3. TAKUT PADA ORANG ASING
Di usia-usia awal, anak memang mau digendong/dekat dengan siapa saja. Namun di usia 8-9 bulan biasanya mulai muncul ketakutan atau sikap menjaga jarak pada orang yang belum begitu dikenalnya. Ini normal karena anak sudah mengerti/mengenali orang. Ia mulai sadar, mana orang tuanya dan mana orang lain yang jarang dilihatnya.
Cara Mengatasi di usia batita seharusnya rasa takut pada orang asing sudah mulai berangsur hilang karena, toh, ia sudah bereksplorasi. Semestinya anak sudah memperoleh cukup pengetahuan untuk menyadari bahwa tak semua orang asing/yang belum begitu dikenalnya merupakan ancaman baginya. Biasanya, justru karena orang tua kerap menakut-nakuti, sehingga anak bersikap seperti itu. “Awas, jangan deket-deket sama orang yang belum kamu kenal. Nanti diculik, lo!” Memang boleh-boleh saja orang tua menasehati anak untuk berhati-hati/bersikap waspada pada orang asing, tapi sewajarnya saja dan bukan dengan cara menakut-nakutinya.
4. TAKUT PADA DOKTER
Mungkin pernah mengalami hal tak mengenakkan seperti disuntik, anak jadi takut pada sosok tertentu. Belum lagi kalau orang tua rajin “mengancam” setiap kali anak dianggap nakal. “Nanti disuntik Bu Dokter, lo, kalau makannya enggak habis!” atau “Nanti Mama bilangin Pak Satpam, ya!
Cara Mengatasi:Izinkan anak membawa benda atau mainan kesayangannya saat datang ke dokter sehingga ia merasa aman dan nyaman. Di rumah, orang tua bisa membantunya dengan menyediakan mainan berupa perangkat dokter-dokteran. Biarkan anak menjalani peran dokter dengan boneka sebagai pasiennya. Secara berkala ajak anak ke dokter gigi untuk menjaga kesehatan giginya. Tak ada salahnya juga mengajak dia saat orang tua atau kakak/adiknya berobat gigi. Dengan begitu anak memperoleh infomasi bagaimana dan ke mana ia harus pergi untuk menjaga kesehatan giginya. Lambat laun ketakutannya pada sosok dokter justru berganti menjadi kekaguman.
5. TAKUT HANTU”
Hi, di situ ada hantunya. Ayo, jangan main di situ!” Gara-gara sering diancam dan ditakuti seperti itu, batita yang sebetulnya belum mengerti sama sekali tentang hantu, jadi tahu dan takut. Bisa juga karena ia menonton film horor di televisi.
Cara Mengatasi:Jauhkan anak dari tontonan tentang hantu. Orang tua pun seyogyanya jangan pernah menakut-nakuti anak hanya demi kepentingannya. Bisa pula dengan membelikan buku-buku cerita atau tontonan anak mengenai karakter hantu atau penyihir yang baik hati.
6. TAKUT GELAP
Biasanya juga gara-gara orang tua. “Mama takut, ah. Lihat, deh, gelap, kan?” Takut pada gelap bisa juga karena anak pernah dihukum dengan dikurung di ruang gelap. Bila pengalaman pahit itu begitu membekas, bukan tidak mungkin rasa takutnya akan menetap sampai usia dewasa. Semisal keluar keringat dingin atau malah jadi sesak napas setiap kali berada di ruang gelap atau menjerit-jerit kala listrik mendadak padam.
Cara Mengatasi:Saat tidur malam, jangan biarkan kamarnya dalam keadaan gelap gulita. Paling tidak, biarkan lampu tidur yang redup tetap menyala. Cara lain, biarkan boneka atau benda kesayangannya tetap menemaninya, seolah bertindak sebagai penjaganya hingga anak tak perlu takut.
7. TAKUT BERENANG
Sangat jarang anak usia balita takut air. Kecuali kalau dia pernah mengalami hal tak mengenakkan semisal tersedak atau malah nyaris tenggelam saat berenang hingga hidungnya banyak kemasukan air.
Cara Mengatasi:Lakukan pembiasaan secara bertahap. Semisal, awalnya biarkan anak sekadar merendam kakinya atau menciprat-cipratkan air di kolam mainan sambil tetap mengenakan pakaian renang. Bisa juga dengan memasukkan anak ke klub renang yang ditangani ahlinya. Atau dengan sering mengajaknya berenang bersama dengan saudara/teman-teman seusianya. Tentu saja sambil terus didampingi dan dibangun keyakinan dirinya bahwa berenang sungguh menyenangkan, hingga tak perlu takut. Kalaupun anak tetap takut, jangan pernah memaksa apalagi memarahi atau melecehkan rasa takutnya. Semisal, “Payah, ah! Berenang, kok, takut!”
8. TAKUT HEWAN
Tak sedikit anak yang takut pada jangkrik, kecoa atau serangga terbang lainnya. Sebetulnya ini wajar, hingga orang tua jangan tambah menakut-nakutinya, “Awas, nanti ada kecoa, lo.” Hendaknya justru bisa memahami karena anak usia ini mungkin saja menemukan banyak hal yang dapat membuatnya takut.
Cara Mengatasi:Boleh saja orang tua memberi pengenalan tentang alam binatang pada anak. Tak perlu kelewat detail seperti halnya profesor memberi kuliah. Tugas orang tua sebatas memahami ketakutan anak sekaligus membantunya merasa aman. Boleh saja katakan, “Ayah tahu kamu takut jangkrik.” Cukup segitu dan jangan paksa anak berada terus-menerus dalam pembicaraan mengenai rasa takutnya. Jangan pula memaksa anak bersikap sok berani menghadapi ketakutannya. “Belum saatnya mencobakan anak melihat atau malah menyentuhkan serangga yang ditakutinya. Ini hanya akan membuat anak semakin takut.” Bila dipaksakan terus, anak malah bisa fobia pada serangga. Biarkan anak tertarik dengan sendirinya dan biasanya ini terjadi setelah anak berusia 2 tahunan. Jika anak memang takut kala ada serangga yang terbang di dekatnya, bantulah untuk mengusirnya bersama.
Sumber : tabloid-nakita.com